Red Yellow Electricity Lightning

Senin, 14 Mei 2018

MEMAHAMI ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN TOKOH-TOKOHNYA



Hasil gambar untuk orang islam 










1. Aliran Khawarij
a. Pengertian
Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij, secara harfiah berarti mereka yang keluar. Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657) dan mereka juga tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. Menurut kelompok Khawarij, semua yang telah mengikuti proses tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melanggar ketentuan syara’, dan dihukumi ka􀏐ir karena telah melakukan dosa besar, yakni tidak berhukum dengan hukum Allah. Berdasar kejadian tahkim tersebut kelompok Khawarij mencetuskan pokok pemikiran bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh).

b. Dasar Ajaran
Kaum Khawarij menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS. An Nisa’ [4]; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Selanjutnya kaum khawarij menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari
kata yasyri (menjual), yakni menjual diri untuk memperoleh ridha Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah [2]: 207.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”

Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Di tempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Sif􀏐in. Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukmailla lillâh”.

c. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir. Berdasar ajaran pokok tersebut kemudian aliran Khawarij mengembangkan pokok-pokok doktrin keimanan:
1) Setiap umat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
2) Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
3) Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya,-dengan atas nama Agama- mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
4)  Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.

Kaum Khawarij juga memiliki pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, diantaranya :
1) Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh.
Lebih anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi ka􀏐ir apabila
tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap ka􀏐ir dengan resiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula.
2) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak
ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan
mereka dianggap berada dalam negeri Islam.
3) Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
4) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan
orang yang jahat harus masuk neraka).
5) Amar ma’ruf nahi munkar.
6) Bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
7) Al-Qur’an adalah makhluk.
8) Memalingkan ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat mutasyabihat (samar)

      Dengan doktrin diatas kaum khawarij mempropagandakan pemikiran-pemikiran
politis berikut ini:
1) Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Utsman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam Perang Unta, dipandang telah berdosa.
2) Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengka firkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul istilah takfir dalam faham kaum Khawarij.
3) Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas di antara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4) Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5) Menerima Al-Qur'an sebagai salah satu sumber di antara sumber-sumber hukum Islam.
6) Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
7) Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
8)  Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah kafir.
Tokoh aliran ini adalah ‘Abdullah bin Wahhab Ar Rasyidi, Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah Al-Asadi, Quraib bin Maruah Nafi’ bin Al-Azraq, Abdullah bin Basyir, Najdah bin Amir Al-Hanafi.
d. Sekte
1) Sekte Al Azariqah
Nama ini diambil dari Na􀏐i Ibnu Al Azraq, pemimpin utamanya. Dalam pandangan teologisnya, Al Azariqoh tidak menggunakan istilah kafir, tetapi menggunakan istilah musyrik atau politheis. Istilah musyrik bagi sekte Al-Azariqoh adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan
istri yang bukan golongan Al-Azariqoh.

2) Sekte Al Ibadiah
Nama golongan ini diambil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh. Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
a) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
b) Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esakan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berarti sudah keluar dari Islam.
c) Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4). Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “darat-tauhid”, dan tidak boleh diperangi. Sekte ini lebih lembut dari pada sekte al Zariqoh. Namun secara umum aliran khawarij merupakan aliran yang sangat keras dalam beragama. Aliran inilah yang
ditengarahi menjadi cikal bakal terorisme di dunia islam. Hal ini dikarenakan pemahaman yang kurang konprehensip dan lengkap dalam beragama.

2. Aliran Murji’ah
a.  Pengertian
            Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan mukmin, bukan ka􀏐ir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Utsman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656)
dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661). Menurut Syahristani orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad Dimasyqi. Tokoh aliran ini adalah Abu Hasan Ash-Shalihi, Yunus bin An-Namiri, Ubaid Al-Muktaib, Ghailan Ad-Dimasyqi.

a.   Doktrin Ajaran
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran
pokok, yaitu:
1) Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3) Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
4) Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat Allah.

b.      Sekte
Menurut Harun Nasutuion, aliran Murji’ah, terbagi menjadi 2, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”.
1) Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah ka􀏐ir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan.
2) Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati.

Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1) Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur tidak tahu Tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, demikian pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3) Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d)  Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.

3. Aliran Syi’ah
a. Pengertian
Istilah Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab Syı̄`ah. Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. Syi’ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya “pengikut Ali”. Muslim Syi’ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi’ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Al-Qur’an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad saw dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Muslim Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib (sepupu, menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait), adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad. Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi’ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadis, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadis dari Muslim Syi’ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan. Menurut Abu Zahrah Aliran Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan menurut Mongomary Watt Aliran Syi’ah mulai muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap tahkim atau arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan istilah Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan istilah Khawarij.
            Di antara tokoh Aliran Syiah adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad, Ammar
bin Yasir dan sejumlah ulama yang menyatakan diri sebagai keluarga Nabi Muhammad saw (Ahlul Bait).

b. Doktrin Ajaran
1) Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2) Al ‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3) An Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
a) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad saw.
c) Nabi Muhammad saw suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
d) Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e) Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad saw.
4) Al Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin
umat sebagai penerus risalah kenabian.
1)   Al Ma’ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.

3. Sekte
Syi’ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada
sampai sekarang, yakni:
1) Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna ‘Asyariah (12 Imam). Dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
e) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir.
f) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq.
g) Musa bin Ja’far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim.
h) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha.
i) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi.
j) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi.
k) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari.
l) Muhammad bin Hasan (868), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi.

2) Ismailiyah
Disebut juga 7 Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya 7 orang dari ‘Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma’il. Urutan imam mereka yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
e) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir.
f) Ja’far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja’far ash-Shadiq.
g) Ismail bin Ja’far (721 – 755), adalah anak pertama Ja’far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
3)  Zaidiyah
Disebut 5 Imam. Mereka merupakan pengikut Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib. Urutan imam mereka yaitu:
a) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin.
b) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba.
c) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid.
d) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin.
e)  Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-bad.

4. Aliran Jabariyah
a. Pengertian
Secara bahasa jabariyah (fatalism) berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Menurut Harun Nasution jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya, setiap perbuatan yang diker jakan manusia tidak berdasarkankehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Sejarawan Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Tokoh yang mendirikan aliran ini adalah Jahm bin Safwan, Al-Ja’ad Bin Dirham, Husain Bin Muhammad Al Najjar, Dirar Ibn ‘Amr.

b. Dasar Ajaran
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al-Qur'an diantaranya: QS. Al Shaffat [37]: 96 dan QS. al Insan[76]: 30
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Di samping itu, fakta sejarah menyatakan bahwa:
1) Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2) Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3) Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya, "apabila perjalanan (menuju perang sif􀏐in) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya”. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadhar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
c. Doktrin Ajaran
1) Aliran Ekstrim.
Aliran ini dikenal juga dengan nama Jahmiyyah karena mendasarkan pemikiran kepada tokoh utamanya yakni, Jahm bin Shofwan. Doktrin ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah. Di antara ajaran kelompok ini adalah:
a) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
b) Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
c) Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.

2) Aliran Moderat
Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad An Najjar. Ia menjadi
pelopor aliran moderat yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatanperbuatan itu. Menurut aliran Jabariyah moderat, Tuhan tidak dapat dilihat di akherat.

4.      Aliran Qadariyah
a.       Pengertian

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan. perbutan-perbutannya. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tiap-tiap. orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya. atas kehendaknya sendiri. Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka. yang mengatakan bahwa manusia memiliki.
kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk. Menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al Juhaini dan Ghilan ad Dimasyqi sekitar tahun 70 H/ 689M. Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam aliran Muktazilah.

b. Dasar Ajaran
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang dijadikan dasar paham qadariyah, seperti QS. ar Ra’ad [13]: 11,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan diri mereka sendiri”

c. Doktrin Ajaran
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah sebagai berikut :
1) Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara kekal.
2) Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allahberhak disebut adil.
3) Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa atau Satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4) Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.

6. Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya “memisahkan diri”. Mu’tazilah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak terpengauruh dengan filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar argumentasi. Latar belakang munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka. Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’, Abu Huzail Al Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim al Jubba’i.

b. Doktrin Ajaran
1) Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq. Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut: “Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang
(syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh, tidak berlaku padanya, tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalian-Nya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera, tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
2) Al-‘Adl (keadlilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
3)Al-Wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
4) Al-Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan ka􀏐ir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
5)Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan QS. Luqman; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.

7. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/ Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jamaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat.
a. Aliran Asy’ariyah
1)  Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abu Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan). Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya.
Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadis. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy’ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan. Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada Dinasti Bani Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah  An Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab Asy Syafi’i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy’ariyah ini adalah akidah yang paling popular dan tersebar di seluruh dunia.Diantara tokoh aliran Asy’ariyah adalah, Abu Hasan Al Asy’ary,  Imam Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210), Abu Ishaq Al Isfirayini (w 418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M.

b. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman disebut di dalam Al-Qur'an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri di atas zat Tuhan. Sifatsifat itu bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al-Qur'an.
Menurutnya, Al-Qur'an adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin. Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
2) Al-Qur'an bersifat qadim dan tidak diciptakan
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.

b. Aliran Maturidiyah
1) Pengertian
Maturidiyah adalah aliran pemikiran kalam yang berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’. Al-Maturidy mendasarkan pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya fiqh-ul Akbar dan fiqh-ul Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab-kitab tersebut. Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah. Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur'an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur'an Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat. Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al-Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah. Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”. Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.

2) Doktrin Ajaran
a) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur'an dan akal, akal banyak digunakan di antaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah dapat diketahui dengan akal. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Allah.
b) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
c) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat dengan sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
d) Sifat Tuhan
Sifat-sifat Allah itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzāt wa lā hiya ghairuhū). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya Dzat Allah.
e) Melihat Tuhan
Menurut Al-Maturidi, manusia dapat melihat Tuhan, sebagaimana firman Allah QS. Al-Qiyamah: 22-23.
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
f) Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalām nafsī (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu
perantara. Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-Qur'an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidi lebih suka menyebutnya hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur'an.
g) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran  wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Menurut Al Maturidi, iman itu cukup dengan membenarkan (tashdiq) dan dinyatakan (iqrar), sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
j) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan.:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah:‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‹kami telah tunduk›, karena iman itubelum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; SesungguhnyaAllah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.» (QS. Al Hujurat [49]: 14
3) Madzhab Aliran Maturidiyah
a) Golongan Samarkand.
Golongan ini adalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan,Maturidi dan Asy’ary terdapat  kesamaan pandangan. Menurut maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman Tuhan, kelak pasti terjadi.
b) Golongan Buhara
Golongan Maturidiyah Bukhara adalah pengikut-pengikut Al Bazdawi dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary. Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Al Bazdawi dapat menerima ajaran Al Maturidi dari orang tuanya. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Al Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab Hanafi. Pemikiran-pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang di kalangan umat Islam.

8. Perbandingan Pemikiran Aliran Kalam
a. Akal dan Wahyu
1) Menurut aliran Mu’tazilah
Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajibankewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui akal.
2) Menurut Aliran Asy’ariyah
Imam Asy’ari menjelaskan bahwa, wahyulah yang menentukan baik dan buruk, menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang menetapkannya.
3) Aliran Maturidiyah
Antara Abu Mansur dengan al Bazdawi berbeda. Abu Mansur menjelaskan, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyulah yang menetapkannya. Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan al Bazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.
b. Iman dan Kufur
1) Menurut Aliran Khawarij
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran Khawarij memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir. Bagi aliran Khawarij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
2) Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma’rifah sama dengan ikrar dan tashdiq, amal tidak termasuk unsure iman. Sedang kufr adalah mengingkari. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa.
3) Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa, iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Ini berarti bahwa unsur iman bagi Mu’tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki, yaitu: pengakuan atau ikrar dan tashdiq. Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan
mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak. Manusia dikatakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.
4) Menurut aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah membedakan antara iman dan Islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan tashdiq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari’at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar. Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan iman atau Islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena iman dan Islam tidak dapat
dipisahkan. Tentang iman, Imam Asy’ari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat
menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk melakukan pelanggaran.
c. Perbuatan Manusia
1) Menurut Aliran Jabariyah
Aliran jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dari mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (fatalism). Aliran jabariyah memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Allah, sebagaimana bendabenda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan
oleh Tuhan.
2) Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang bahwa manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad ibn al Juwaini dan Ghailan al Dimasyqi. Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi
dapat memilih. Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan
kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaan dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif. Jadi nampaknya bahwa manusia merdekadalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pulasebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.
3) Menurut Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan). Menurut al Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dariyang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatanperbuatan manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan gerakan re􀏐leks dan perbuatan-perbuatan manusia.
4) Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya
d. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
1) Menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Allah itu tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian
maka keadilan Tuhan terwujud kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud. Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
2) Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliaran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan kaum Asy’ariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam kekuasaanNya terjadi apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka hal ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah lah yang menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar