Red Yellow Electricity Lightning

Senin, 14 Mei 2018

MEMAHAMI TASAWUF DALAM ISLAM



Hasil gambar untuk orang islam 
1.      Pengertian Tasawwuf
a.      Pengertian Etimologi
          Istilah tasawuf, menurut Amin Syukur adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut  belum  ada  pada zaman Rasulullah saw,  juga  pada  zaman  para  sahabat namun prakteknya sudah dijalankan pada masa itu. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan  dalam  dalam  Al-Qur’an. Tasawuf adalah sebutan untuk  mistisisme Islam. Dalam pandangan etimologi kata suϔi mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Haidar Bagir, kata suϔi berasal bahasa Arab yang merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum  suϐi  berada  dalam shaff  pertama. 2.  Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum suϐi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni parazahid(pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah,  Abdullah  ibn  Mas’ud,  Abdullah  ibn  Abbas,  dan  Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian tasawufberasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para suϐi maupun aspek kesejarahan.
b.      Pengertian Terminologi
1)      Imam Junaid dari Baghdad (w. 910) mendeϐinisikan tasawuf sebagai mengambil setiap  sifat  mulia  dan  meninggalkan  setiap  sifat  rendah.  Atau  keluar  dari  budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.
2)      Syekh   Abul  Hasan  Asy  Syadzili  (w.1258),  syekh  suϐi  besar  dari  Arika  Utara, mendeϐinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
3)      Ibn Khaldun mendiϐinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan  segala  selain  Allah,  hanya  menghadap  kepada  Allah  semata.  Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalumemperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
4)      Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengansenang tanpa didahului oleh daya pemikiran dan pertimbangan kerana sudah melekat dalam dirinya.
5)      Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam Islammenjelaskan bahwa, tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin dengan Tuhan.
6)      Amin syukur mendeϐinisikan tasawuf sebagai sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memeperdalam aspek  kerohanian  dalam  rangka mendekatkan diri  kepada  Allah  (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada Nya.
          Jadi, tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.  Dari  deϐinisi  tentang  tasawuf  di  atas  diperhatikan  dan  dipahami  secara  utuh, maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi moral. Dan dapat  disimpulkan  bahwa  basis  tasawuf  ialah  penyucian  hati  dan  penjagaannya  dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirnya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Allah. Dengan demikian, suϐi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan hati dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
b.Dasar-dasar Tasawwuf
                Diantara ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesuϐian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan jiwa (QS. As Sajadah [32]: 16, QS. Asy Syams [91]: 7-10), ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah SWT semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan. (QS. At  Thalaq  [65]:  2-3).  ayat  yang  berkenaan  dengan  urgensi  kezuhudan  dalam  kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa [42]: 20) dan ayat-ayat yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat.
1)      “lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menaϔkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS. As Sajadah [32]: 16).
2)      7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS. Asy Syams [91]: 7-10)
3)      2. Bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan orang yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaaq [65]: 2-3)
4)      “ barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa [42]: 20)
5)      “ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbanggabanggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid [57]: 20)
a.      Pandangan tentang Asal Usul Tasawwuf
1)      Suϔisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum  asketen  (yaitu  orang  yang  hidupnya  menjauhkan  diri  dari  kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam
2)      Suϔisme yaitu  ajaran  mistik  yang  dianut  sekelompok  kepercayaan  di  Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia.
3)      Tasawuf  dan  suϐi  berasal  dari  kota  Bashrah  di  negeri  Irak.  Dan  karena  suka mengenakan  pakaian  yang  terbuat  dari  bulu  domba (Shuuf),  maka  merekadisebut dengan Suϔi. Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib ra. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Suϔi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al-Qur'an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Suϔi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Suϔi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha”
b.      Sejarah Perkembangan Tasawuf
1)      Abad I dan II Hijriyah
       Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf  tapi  lebih  tepat  disebut  sebagai  fase  kezuhudan.  Tasawuf  pada  fase  ini  lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.Kelompok ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shuϐi. Dengan anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Fartsi,  Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
2)      Fase Abad III dan IV Hijriyah
       Abad  ketiga  dan  keempat  disebut  sebagai  fase  tasawuf.  pada  permulaan  abad  ketiga hijriyah mendapat sebutan shuϐi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana ϔi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akanmendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana  seorang  shuϐi  kehilangan  kesadaran  terhadap  hal-hal  ϐisik  ( al-hissiyat).  Ittihad adalah  kondisi  dimana  seorang  shuϐi  merasa  bersatu  dengan  Allah  sehingga  masingmasing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 – 309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya.
3)      Fase Abad V Hihriyah
       Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang  asli  yaitu  al-Qur`an  dan  al-Hadis  atau  yang  sering  disebut  dengan  tasawuf sunnyyakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin
Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.), al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyahterdiri dari dua jilid.
4)      Fase Abad VI Hijriyah
       Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsaϐi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa (dzauq)dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan ϐilsafat terutama ϐilsafat Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan  dan  hamba  kemudian  diteorisasikan  dalam  bentuk  pemikiran  seperti  konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayali. Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh al-Akbar(Syekh Besar). Tokoh  lain  adalah al-Syuhrawardi(549-587  H.)  dengan  konsep Isyraqiyahnya.  Ia  dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan  Shalahuddin  al-Ayubi.  Diantara  kitabnya  adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
c.       Pembagian Ilmu Tasawuf
1)      Tasawuf Akhlaki
          Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral) atau taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Ajaran tasawuf akhlaki membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental  dan  pendisiplinan  tingkah  laku  yang  ketat,  guna  mencapai  kebahagiaan  yang optimal.  Dengan  metode-metode  tertentu  yang  telah  dirumuskan,tasawuf  bentuk  ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah)sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji(Mahmudah)didalam diri para suϐi.Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk.  Potensi  untuk  menjadi  baik  adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara  potensi  untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam QS. As-Syams : 7-8 sebagai berikut:Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
          Tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a)      Takhalli
       Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
b)      Tahalli
       Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan  sikap,  perilaku,  dan  akhlak  terpuji.  Tahapan  tahalli  dilakukan  kaum  suϐi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) seperti sholat, puasa, haji, maupun internal (dalam) seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
c)      Tajalli
       Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa  yang  telah  membiasakan  melakukan  perbuatan-perbuatan  yang luhur,  maka rasa keTuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
    Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
2)      Tasawuf Amali
       Tasawuf amali adalah  tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya  agar  diperoleh  penghayatan  spiritual  dalam  setiap  melakukan  ibadah. Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan melakukan macam-macam amalan  yang  terbaik  serta  cara-cara  beramal  yang  paling  sempurna.  Tasawuf  Amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah Al Adawiyah dan Dzun Nun Al Misri.Pengalaman tasawuf amali dibagi kedalam empat bidang sebagai berikut:
a)      Syari’at
       Syari’at adalah hukum-hukum formal yang dijadikan sandaran amalan lahir yang ditetapkan  dalam  ajaran  agama  melalui  Al-Qur’an  dan  Sunnah.  Sehingga  seorang pengamal suϐi tidak mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya.
b)      Thariqot
       Kalangan suϐi mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan dijadikan metode pengarahan jiwa dan moral.
c)      Hakikat
       Dalam dunia suϐi hakikat diartikan sebagai aspek batin yang paling dalam dari setiap  amal  atau  inti  dan  rahasia  dari  syariat  yang  merupakan  tujuan  perjalanan menuju Allah.
d)     Ma’rifat
       berarti pengetahuan atau pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
3)      Tasawuf Falsafi
       Tasawuf Falsafi yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah pemikiran mendalam/metafisik. Dalam upaya  mengungkapkan  penglaman  rohaninya, para para suϐi falsaϐi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang  dikenal  dengan syathahat yaitu  suatu  ungkapan  yang  sulit  di  pahami,  yang sering mengakibatkan kesalahpahaman. Tokoh tasawuf ini antara lain, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj, Ibnu Arabi, Suhrawardi.Dalam tasawuf falsaϐi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknyaterdapat  beberapa  term  yang  telah  masyhur  beserta  para  tokohnya  yaitu  ; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.
a)      Hulul
       Hulul  merupakan  salah  satu  konsep  didalam  tasawuf  falsaϐi  yang  meyakini  terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun oleh Al-hallajKata hulul berimplikasi kepada bahwa Tuhan akan menempati dan memilih tubuh manusia untuk ditempati, bila manusia dapat menghilangkan sifat nasut( kemanusiaannya) dengan cara fana (menghilangkan sifat-sifat tercela melalui meniadakan alam duniawi menuju kesadaran keTuhanan).
b)      Wahdah Al-Wujud
       Istilah wahdah Al-wujud adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu dengan Tuhan, akan tetapi Tuhan disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn bersatu padu disini bukanalh Dzat yang Tuhan yang sesungguhnya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana’
c)      Ittihad
       Pembawa  faham  ittihad  adalah  Abu  Yazid  Al-busthami.  Menurutnya  manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
d)     Sumber-sumber Tasawwuf
       Sebagaimana layaknya ilmu tauhid, ilmu ϐiqih, ilmu akhlaq, ilmu kalam, ulumul AlQur’an, ulumul hadis dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul setelah Rasul wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, eksistensi namanya baru dikenal jauh setelah Rasul wafat. Namun esensi ilmu tasawuf sesungguhnya bersumber dari Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad suϐi dan qiyas sufi.
(1)   Allah
       Allah merupakan Zat sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmu-Nya  kepada  para  sufi  lewat  hidayah  (ilham)  baik  langsung  maupun  dengan perantaraan lain selain Allah yang Allah kehendaki. Ada  kalanya  lewat  Al-Qur'an  dengan  metode iqro’ul Qur’an (membaca,  menyimak,  menganalisa  isi  kandungan  Al-Qur'an),  ada  pula  melalui  alam  dengan  cara perenungan  suϐi  dan  lain  sebagainya  yang  pada  intinya  merupakan  hidayah  dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide tercerahkan dalam nuansa pemikiran dankeyaqinan terunjam di hati untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah.
(2)   Rasulullah SAW
       Rasul  merupakan  sumber  kedua  setelah  Allah  bagi  para  suϐi  dalam  mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyu-Nya, tentulah Rasul pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat dalam Al-Qur'an. Semua keterangan tersebut hanya ada di hadis Rasulullah, maka sumber yang kedua ilmu tasawuf adalah Hadis (Sunnah Rasul).
(3)   Pengalaman Sahabat
       Setelah merujuk pada referensi Al-Qur'an dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas  tasawuf  adalah  pengetahuan  dan  tindakan  para  pengikut  setia  Rasulullah Muhammad saw. Pengalaman spiritual yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu.
(4)   Ijma’ Sufi
       Ijma’  Suϐi  (kesepakatan  para  ‘ulama  tasawuf )  merupakan  esensi  yang  sangat penting dalam ilmu tasawuf, karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah Al-Qur'an dan Hadis.
(5)   Ijtihad Sufi
       Dalam kesendiriannya, para suϐi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu merupakan guru terbaik, namun Allah memberi akal untuk berfikir semaksimal mungkin sebagai alat pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman.
(6)   Qiyas Sufi
       Qiyas merupakan penghantar suϐi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari jama’ahnya.

(7)   Nurani Sufi
       Setiap sufi positif, memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa kenal lelah.
(8)   Amalan Sufi
       Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya,  karena  jika  dua  hal  tersebut  diketahui  umum  dapat  menimbulkan  kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan) suϐi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu  menjalaninya,  namun  para  suϐi  amat  merindukannya  disebabkan  semata karena cinta kepadaNya.
d.      Istilah-istilah Tasawuf
1)      Al-Maqamat
a)      Pengertian
       Definisi Al maqamatsecara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah tempat berdiri, dalam terminologi suϐistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.Menurut  Al  Qusyairi  (w.  465  H) maqam adalah  tahapan  adab (etika)  seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah)dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
b)      Tingkatan Al-Maqamat
       Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudinmembuat sistematika maqamatdengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.
(1)   Taubah
       Dalam ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam  pengertian.  Secara  literal  taubat  berarti kembali.  Dalam  perspektif  tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah. Menurut  Abu  Nashr  Al  Sarraj taubah terbagi  pada  beberapa  bagian. Pertama,taubatnya  orang-orang  yang  berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin.  Kedua,  taubatnya  ahli  haqiqat  (kaum  khawwas).  Pada  bagian  ini  para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifatyaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 53). “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).
(2)    Wara’
       Kata wara’secara etimologi berarti menghindariatau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”. Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :
(a)    Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan terkait denganhati (kesesatan, bid’ah, kefanatikan dan berlebih-lebihan)
(b)   Meninggalkan segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan  jatuh  pada  keharaman,  dan  meninggalkan  kelebihan  meskupun  berupa bagian dari kehalalan.
(3)   Zuhud
       Menurut Imam Ghazali, makna kata zuhudadalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah(perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa(keinginan), dan d menunjuk kepada dunya(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhuddiartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti darizuhdadalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang khusus  (kezuhudan  dalam  kezuhudan).  Hal  ini  berarti  berubahnya  kegembiraan yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Merekatelah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud:
(a)    Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.
(b)   Kelompok  para  ahli  hakikat  tentang  zuhud  (mutahaqqiqun ϔi Al zuhd).  Kelompok  ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
(c)    Kelompok  yang  mengetahui  dan  meyakini  bahwa  apapun  yang  ada  di  dunia  ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak membuat mereka jauh  dari  Allah  dan  tidak  mengurangi  sedikitpun  kedudukan  mereka,  semuanya semata-mata karena Allah.“… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orangorang yang bertakwa…” (QS. An Nisa [4]: 77), “…dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9).
(4)   Al Shabr
        Al Sabr secara  etimologi  berarti  tabah  hati.  Dalam  Mu’jam Maqayis Al Lughahdisebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah.Dalam perspektif tasawuf Al shabrberarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Shabrmenurut ahli suϐi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya.Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan(angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkaraharam adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.Sabar  bukanlah  suatu  maqam  yang  diperoleh  melalui  usaha  manusia  sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.“bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekaϔiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127).
Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr
(a)    Sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau kesusahan.Adapun  contohnya  apa  yang  terjadi  pada  nabi  Ayyub,  beliau  ditinggalkan  oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
(b)   Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melakukan maksiat.
(c)    Sabar dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi Ibrahim dan  anaknya  Ismail,  beliau  berdua  dengan  tetap  sabar  dan  taat  atas  perintah Allah,  meskipun  saat  itu  sang  ayah  akan  menyembelih  anaknya  sendiri.  Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.
(5)    Syukur
       Syukur secara  terminology  berasal  dari  kata  bahasa  Arab, syakara yang  berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhaiAllah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.Syukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)
(6)   Tawakkal
       Tawakkalbermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilahuntuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin
dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep  tawakkal  dalam  dunia  tasawuf  berbeda  dengan  konsep  agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni  menggantungkan  segala  sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah.“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3), “ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)
(7)   Ridha
       Ridha berarti  sebuah  sikap  menerima  dengan  lapang  dada  dan  senang  terhadap  apapun  keputusan  Allah  kepada  seorang  hamba,  meskipun  hal  tersebut  menyenangkan atau tidak. Sikap ridhamerupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.Imam Ghazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.Orang yang ridhaterhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya. Allah berϔirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119).
       Untuk lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridla Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa bersikap ridha kepada qadhadan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan menyakitkan.  Sikap  ridha  adalah  cerminan  kepaTuhan  hamba  kepada  Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.
2)      Al Ahwal
a)      Pengertian Al Ahwal
       Al ahwalbentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan mental (menthal states)yang dialami oleh para suϐi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut halsebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
b)      Tingkatan Al Ahwal
       Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori halyaitu: Al Murâqabah(rasa selalu diawasi oleh Tuhan), Al Qurb(perasaan dekat kepada Tuhan), Al Mahabbah(rasa cinta kepada Tuhan), Khauf wa Rajâ’(rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq(rasa rindu), Al Uns(rasa berteman), Al Thuma’ninah(rasa tenteram), Al Musyâhadat(perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al Yaqîn(rasa yakin).
(1)   Muraqabah
       Muraqabahdalam tradisi suϐi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala  perilaku  peribadatan  adalah  dalam  rangka  muraqabah  atau  mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari  sepenuhnya  bahwa  Allah  selalu  mengawasi  segenap  perilaku  hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
(2)   Mahabbah
       Mahabbahmengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingatdan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cinta seperti inimuncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah  ketulusan  dan  keteringatan (zikir) yang  terus-menerus.  Karena  jika  orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya. Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena  penglihatan  mata  hati  mereka  terhadap  kekayaan,  keagungan,  kebesaran, pengetahuan  dan  kekuasaan  Tuhan.  Ciri-ciri  cinta  ini  adalah  “terkoyaknya  tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi). Ketiga, cinta orang-orang shiddiqdan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun.
(3)    Khauf
       Al  Qusyairi  mengemukakan  bahwa  khauf  terkait  dengan  kejadian  yang  akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah“… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175)Seorang yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf akan berϐikiran jauh ke depan.
(4)    Raja’
       Raja’adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al Qusyairi membedakan antara harapan dengan  angan-angan (tamanni).  Raja’  bersifat  aktif,  sementara  tamanni  bersifat  pasif.  Seseorang  yang mengharapkan  sesuatu  akan  berupaya  semaksimal  mungkin  untuk  meraih  dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk mendapatkan yang diangan-angankannya. Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktiϐitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan
Demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
(5)   Syauq
       Rindu (syauq)merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan.  Begitu  pula  seorang  hamba  yang  dilanda  kerinduan  kepada  Allah  SWT  akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang dari hawa nafsu.Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktiϐitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
(6)   Uns
       Perasaan suka cita (uns)merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan  kedekatan  dengan  Tuhan.  Atau  dengan  pengertian  lain  disebut  sebagai pencerahan  dalam  kebenaran.  Seseorang  yang  ada  pada  kondisi uns akan  merasakan  kebahagiaan,  kesenangan,  kegembiraan  serta  suka  cita  yang  meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya  ketika  menikmati  keindahan  alam,  keluasan  bacaan  atau  merdunya  alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang suϐi benar-benar merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.
(7)   Tuma’ninah
       Tuma’ninahadalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT,27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama›ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30).Ibnu Qayim membagi tuma’ninahdalam tiga tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf, ketentraman perindu pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya.  Ketiga  tingkatan  ini  berkaitan  dengan  konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah suϐi, fana’adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
(8)   Musyahadah
       Musyahadah adalah  kehadiran  Al Haqq dengan  tanpa  dibayangkan.   Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadahkalbunya senantiasa dipenuhi oleh  cahaya  keTuhanan,  sehingga  ibarat  kilatan  cahaya  di  malam  hari  yang  tiada putus sama sekali, sehinggga malampun laksana siang yang nikmat.
(9)   Yaqin
       Al Yaqin dalam  terminologi  sufi  adalah  merupakan  perpaduan  antara  ‘ilmu al yaqin, ’ain al yaqindan haqq al yaqin. ‘Ilm al Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya. ‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al Yaqinbagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqinbagi orang-orang yang ma’rifah.Jadi, Al Yaqin adalah  sebuah  kepercayaan  yang  kuat  dan  tak  tergoyahkan  tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki, karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya  dan  dirasakan  oleh  seluruh  ekspresinya,  serta  disaksikan  oleh  segenap eksistensinya.
e.       Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
       Prof. Zakiah Darajat, dalam bukunya Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental,menyatakan bahwa fungsi agama adalah :
1)      Agama  memberikan  bimbingan  bagi  manusia  dalam  mengendalikan  dorongandorongan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ϐisik dan psikis seseorang.
2)      Agama dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi kesukarankesukaran  dalam  hidup.   Seperti  pada  saat  menghadapi  kekecewaan-kekecewaan yang  kadang  dapat  menggelisahkan  batin  dan  dapat  membuat  orang  putus  asa. Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3)      Agama  sebagai  pengendali  moral,  terutama  pada  masyarakat  yang  mengahadapi problematika etis, seperti perilaku seks bebas.
                Akhlak tasawuf merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan. Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya iu brrada di hadiratNya. Tasawuf perlu dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat dengan beberapa tujuan, antara lain:
a)      Menyelamatkan  kemanusiaan  dari  kebingungan  dan  kegelisahan  yang  mereka rasakan sebagai akibat kurangnya nilai-nilai spiritual.
b)      Memahami tentang aspek asoteris Islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non Muslim.
c)      Menegaskan kembali bahwa aspek asoteris Islam (tasawuf)adalah jantung ajaran Islam.
Tarikat atau jalan rohani (path of soul) merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam Islam sebagaimana syariat bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam Islam. Ajaran dalam tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk menghadapi krisis-krisis dunia. Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan manusia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan.Selanjutnya sikap frustasi dapat diatasi dengan sikap ridla. Yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap materialistik dan hedonistik dapat diatasi  dengan  menerapkan  konsep  zuhud.  Demikan  pula  ajaran  uzlah  yang  terdapat dalam tasawuf. Yaitu mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan.
Ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu dilandasi ajaran akhlak tasawuf.Mempelajari tasawuf membawa  manfaat  yang  sangat  banyak  dalam  kehidupan  ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa dan negara. Para Suϔisangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu  menguasai  hawa  nafsu  mereka,  sehingga  dengan  demikian  segala  apa  yang  mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepaTuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS. AlFajr [89]: 27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil(manusia paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
Tujuan akhir dari ajaran tasawufadalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhahmelewati stasiun-stasiun atau maqamatmaqamattertentu, dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan  solusi  yang  terbaik  bagi  umatnya.  Kehampaan  spiritual  yang  di  alami  orangorang  Barat,  karena  disebabkan  paradigma  perdaban  yang  mereka  bangun  dari  awal telah menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya  harus  saling  bersinergi. Tasawuf Islam  tidak  menaϐikan  sains,  bahkan  tasawuf Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang ϐilsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang Maha Wujud dan Maha Absolut.
f.       Teladan Sufi Nabi dan Sahabat
1)      Pengalaman Sufi Nabi Muhamaad. Saw.
       Dalam sejarah Islam, Muhammad saw. dikenal sebagai pioner yang memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain. Kaum zuhâd atau kaum suϐi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani aktivitas suϐistik mereka selalu merujuk pada Muhammad saw sebagai mursyid tertinggi dalam Islam. Bahkan, kaum suϐi sendiri menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil) sekaligus mursyid tertinggi yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan suϐistik mereka menuju  kepada  Yang  Haq  (Allah).  Itulah  sebabnya,  dalam  tulisan  ini  penulis  tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman suϐistik Muhammad saw. dengan beragam macamnya itu dengan pendekatan normative-historis.Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam dirinya.
       Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya. Kedua, sifat  dan  akhlaknya  yang  terpuji;  seperti  sifat  kasih  sayang,  sabar,  rendah hati,  dan  jujur.  Ketiga,  tanda-tanda  kenabian  dan  pengalaman  suϐistik  tertinggi  yang telah  dialirkan  oleh  Allah  SWT  kepadanya,  seperti  benda-benda  padat  bisa  berbicarakepadanya, dapat menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi adalah memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.  Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
a)      Pengalaman Khalwat di Gua Hira
       Mendekati  usia  40  tahun,  mulailah  tumbuh  pada  diri  Muhammad  saw  kecenderungan untuk melakukan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad saw menjelang dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni merasakan pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya. Dari aktivitas uzlah ini, dapat diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melakukan amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang dapat sampai pada mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat keagungan Allah, nampaknya dapat diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi motivasi kuat dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama manusia  dengan  hidup  secara  terasing.  Karena khalwat yang  dilakukan  Muhammad saw bersifat temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.
b)      Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’yâ as sâdiqah)
       Mimpi  yang  benar  juga  dipandang  oleh  Nabi  Muhammad  saw  sebagai  suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada umumnya.  Bahkan, nabi Muhammad  saw  sendiri  memandang  mimpi  yang  benar  merupakan  bagian  dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT. kepada orang muslim  yang  menerimanya  dan  juga  pengganti  dari  sifat  kenabian  yang  telah  dicabut setelah Nabi Muhammad saw.Pengalaman  sufistik  ini  sama  halnya  dengan  pengalaman  mimpi  yang  dialami Nabi  Ibrahim  ketika  ia  mendapat  perintah  dari  Allah  SWT.  untuk mengorbankan putranya,  Ismail.  Pengalaman  sufistik  ini  merupakan  fenomena  umum  yang  terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar hatinya tenang sebagai persiapan mentaluntuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bercerita,“Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan wahai Rasul?”Nabi menjawab, “ilmu”.
c)      Masalah wahyu yang turun kepada Nabi Saw.
       Nabi  Muhammad  saw,  dalam  konteks  ini,  telah  mengalami  pengalaman  pewahyuan  dari  Allah  SWT.  melalui  dua  bentuk;  langsung  dari  Allah  Swt  dan  melalui perantara malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi saw memperoleh pengalaman  pewahyuan  itu  dari  Tuhan  secara  langsung,  tidak  melalui  malaikat  Jibril,  di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah SWT. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui perantara  dan  dalam  keadaan  terjaga.  Wahyu  model  ini,  menurut  ulama  Islam,  terjadi pada Nabi Muhammad saw di malam isrâ’-mi’râj.
Contoh wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al-Qur'an yang pertama kali. Dalam pengalaman suϐistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman suϐistik ini dapat dilihat dan didengar. Malaikat itu
memerintahkan Muhammad saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya “membaca” (untuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al-Qur'an adalah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun sampai meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan
beliau sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan ϐirman yang turun dari atas. Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Aku tidak pernah menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku karena ia sedang dihilangkan dariku”.
d)     Pengalaman Isra’ Mi’raj
       Pengalaman spiritual penting itu adalah perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat sampai mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha)bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT, yang digambarkan sebagailingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan mengatakan “Maha suci Allah SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad saw yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi  kedalaman  kehidupan  beragama.  “Malam  kenaikan”  disejawatkan  dengan “malam  kekuasaan”,  karena  Al-Qur'an  juga  diwahyukan  pada  bagian  penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isrâ’ mi’râj itu, secara suϐistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad saw oleh Allah  untuk mushâhadah dengan-Nya.  Bagi  para  sufi,  pengalaman  itu  merupakan pengalaman mistik paling agung dari Nabi Muhammad saw.

1 komentar: